Peluang Wirausaha
“BOX PACKING”
Modal 900 Ribu Omset bisa mencapai 6 Juta!
Don’t look something just form the cover. Jangan melihat
atau menilai sesuatu dari bentuk luarnya saja. Demikian sebuah ungkapan yang
acapkali kita dengar saat akan kita melihat atau membeli suatu barang.
Ungakapan
itu, tentu mengandung makna agar kita tidak mudah terkecoh dengan tampilan
fisik –menarik maupun tidak, saat melihat apalagi untuk membeli suatu barang.
Sesuatu jika sekadar dilihat dari tampilan fisik belumlah bisa dikatakan
mewakili dari kualitas barang tersebut. Namun, kasus yang satu ini lain. Justru
yang mesti diandalkan malah tampilan fisiknya (baca:unik dan menarik). Karena
aktifitas ini berhubungan dengan pengemasan barang atau yang lebih dikenal
dengan istilah packaging. Bisa dikatakan, aspek fisik lebih penting dan
dominan. Malah bermula dari aspek fisik itulah letak dari nilai bisnisnya.
Artinya, bagaimana sebuah pengemasan produk yang unik dan menarik tersebut
menjadi potensi bisnis.
Di kota-kota
besar, bisnis packaging mulai marak. Jasa ini berfokus pada pengemasan barang
yang tidak bisa ditemui pada umumnya alias unik. Dengan keunikan tampilan luar,
diharapkan orang yang melihatnya akan tertarik sekalipun isi di dalamnya
sejenis dengan barang lainya.
Pada tahun
1930-an, Louis Cheskin, seorang psikolog pemasaran bereksperimen dengan
menempatkan dua produk yang sama dalam dua kemasan yang berbeda. Satu kemasan
berbentuk lingkaran dan kemasan lainya berbentuk segitga. Partisipan dalam
eskperimen itu diminta untuk memilih produk mana yang paling disukai berikut
alasanya. Mereka tidak ditanya soal kemasan. Juga tidak diminta untuk mengatakan
sesuatu tentang kemasan itu. Hasilnya? 80 persen partisipan memilih produk yang
dikemas berbentuk lingkaran.
Cheskin
kemudian megulang eksperimenya dengan meletakan produk lainya dalam kemasan
yang sama –berbentuk segitiga dan lingkaran. Hasilnya sama. Karena itu, Cheskin
berkesimpulan, dalam kemasan memberikan pengaruh besar pada pengalaman
seseorang terhadap isi yang terkandung dalam kemasan tersebut. Nah, terkait
dengan eksperimen Cheskin tersebut, dewasa ini tengah berkembang bisnis yang
berfokus pada pengemasan atau packaging.
Adalah Ika
Yuniarti beserta temannya yang telah menekuni bisnis ini. Ide Ika menjalankan
bisnis ini bermula saat dia akan menghadiri pernikahan sahabatnya. Saat itu dia
berencana memberi kado kenangan dan tinggal mencari bungkus atau wadahnya. Dia
pun jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Betapa herannya dia saat melihat
daftar harga pembungkus kado berukuran kecil seharga Rp.40 ribu. Antara heran
dan takjub pun menjadi satu. Heran lantaran untuk ukuran box yang sekecil itu harganya
terbilang begitu mahal. Takjub karena sebenarnya dia pun bisa memproduksi
barang tersebut.
Akhirnya, Ika
pun memutuskan membuat sendiri box atau pembungkus kado. Tak berhenti disitu,
dengan memanfaatkan imajinasi Ika menjadikan kegiatan mengemas barang ini
menjadi sebuah bisnis. Bersama Nadia, Adit, dan Ono, bisnis box packaging pun
digagasnya. Hasilnya? Bisnis tersebut bergulir dan awalnya melayani pesanan
kecil-kecilan dari teman-temanya.
Langkah Dwi
Cahyono, 30 tahun, berbeda. Awalnya dia sempat bingung lantaran order tempat
kerjanya lagi surut. Dia memutuskan keluar. Di tempat kerjannya itu, Dwi
menangani box packaging di bagian finishing. Karena kepepet, Dwi memaksakan
diri terjun di bisnis yang sama.
Terus terang
Dwi buta soal cara memproduksi. Tapi, tekadnya yang kuat memaksa dia untuk
belajar. Dwi, Ika dan teman-teman memulai bisnis ini sejak setahun lalu.
Ternyata, bisnis ini cukup diminati konsumen. Terbukti, setelah bisnis bergulir
pangsa pasar pun berkembang. Dari yang awalnya perseorangan juga menembus
perusahaan. Sebenarnya, fokus bisnis ini membuat tampilan barang mempunyai
nilai tambah. Biasanya pasar box packaging untuk kebutuhan pribadi. Misalnya,
untuk pengemasan kado, membuat wadah sepatu, tata rias, aksesoris, dan
sebagainya. Dan bisnis packaging biasanya bukan untuk produksi massal.
Bagi
perusahaan, jasa packaging dipakai untuk menambah nilai promosi. Produk yang
akan di-launching juga sering memakai jasa packaging. Dwi, misalnya, menerima
order dari perusahaan rokok berkait packaging promosi. Dia membuat kemasan
promosi rokok yang ada korek apinya. Pesanan pun mencapai ribuan pieces.
Berbicara soal bahan, box packaging menggunakan bahan utama kertas vensy yang
memiliki ketebalan tertentu. Dengan harga per meter sekitar Rp 12 ribu – Rp 120
ribu. Semakin mahal, kualitasnya makin bagus. “Maka, saat bernegosiasi dengan
klien, harus dipastikan dulu jenis kertasnya,”ujar Dwi. Mahalnya kertas ini
karena jenis barang impor.
Kunci untama
mengerjakan box adalah menemukan pola. Biasanya klien minta dibuatkan box
berbentuk tertentu. Keinginan itu dikerjakan dengan sebuah pola utama. Jika
sudah oke, pengerjaan berikutnya lebih mudah. Penemuan pola akan terasa lebih
mudah jika sudah terbiasa.
Bahan
finishing tergantung kesepakatan dengan klien. Bahan itu biasanya berubah
sesuai mode pada eranya. Tahun 1999-2002, misalnya, bahan finishing berkonsep
natural. Sebelumnya, finishing banyak memakai cover daur ulang. Bahan-bahan
alam pun dipakai.
“Saya dulu
memanfaatkan gedebong pisang dan daun waru untuk finishing. Konsep natural
kemudian tergeser oleh konsep cover kain, sejak 2002-2006. Dan sejak 2006
sampai sekarang, masih didominasi finishing dengan bahan kain dan natural,
papar Dwi yang menawarkan karya-karyanya di kaki lima saat mengawali usaha. Ia memprediksi
pemakaian bahan daur ulang sebagai cover akan kembali ngetren, tapi dengan
konsep beda.
Soal promosi?
Ika dan Dwi mengandalkan getok ular. Keduanya juga aktif mengenalkan usaha
lewat internet. Misal, melalui facebook dan blog. Intinya, agar konsumen
setidaknya tahu eksistensi mereka. Modal menjalankan bisnis ini tidak banyak.
Yang penting otak harus encer untuk memacu kreatifitas merancang box kemasan.
Dengan kata lain kreatif dan inovatif. “Modal saya dan teman-teman waktu itu Rp
900 ribu, urunan bersama teman-teman, “ kenang Ika. Sementara modal Dwi malah
hanya Rp 200 ribu. Kini, bisnisnya sudah menghasilkan laba pemasukan minimal Rp
6 juta perbulan. Itu belum termasuk pesanan insidentil di luar klien loyal.
Jadi, soal
modal menurut Dwi, bukan penghalang untuk terjun di bisnis ini. Bahkan, modal
itu sebenarnya bisa didapat dari klien sendiri. Mereka biasanya memberikan uang
down payment (DP) yang bisa dipakai sebagai modal kerja. Termasuk dalam
mendatangkan bahan. Soal kualitas jangan disepelekan. Lantaran bisinis ini
rentan terhadap kompalin konsumen, maka dibituhkan ketelitian dan ketelatenan
tinggi. Jika kurang rapi, bisa-bisa konsumen menolak membayar dengan harga
penuh.
Seperti
halnya yang dialami Ika. Dia harus menanggung resiko gara-gara ada box
packaging-nya yang tidak rapi. Kesepakatan awal, klien memesan 500 box dengan
harga Rp 4 ribu per item. Setelah ada complain, klien hanya mau membayar Rp
3.800 per box. Artinya, Rp 200 lebih murah dari kesepakatan.
“Tantangan
bisnis box packaging memang ada pada tipe klien. Wajar bila klien tidak terima
ketika hasil karya kita kurang memenuhi standar. Tapi, jika sudah bertemu klien
bertipe perfeksionis, itu yang bikin kerjaan jadi tambah lama,” Keluh Dwi.
Klien jenis
ini seringkali melakukan perubahan mendadak, padahal box yang dibuat sebelumnya
sudah sesuai kriteria pesanan. “Namanya juga klien, saya pun harus sabar
mengikuti kemauanya,” imbuhnya.
Pun demikian
sebenarnya, tidak ada patokan khusus soal harga box per item. Soalnya, tiap
pesanan membawa spesifikasi sendiri yang berujung pada harga bahan, jenis
bahan, detail, sampai finishing. Maka, komposisi harga jual pun bisa
dinegosiasi. Untuk Dwi sendiri mengaku harga jual box-nya dua kali dari harga
pokok produksi. Sedangkan Ika, enggan menyebutkan rumus harga jualnya. Ia hanya
menyebut, karnyanya dijual dari seribu sampai ratusan ribu rupiah. Wow, lumayan
bukan untuk menambah penghasilan. Anda tertarik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar