Translate this page dude

Rabu, 21 November 2012

Bisnis Sampingan : Box Packing


Peluang Wirausaha
“BOX PACKING”
Modal 900 Ribu Omset bisa mencapai 6 Juta!

Don’t look something just form the cover. Jangan melihat atau menilai sesuatu dari bentuk luarnya saja. Demikian sebuah ungkapan yang acapkali kita dengar saat akan kita melihat atau membeli suatu barang.

 

Ungakapan itu, tentu mengandung makna agar kita tidak mudah terkecoh dengan tampilan fisik –menarik maupun tidak, saat melihat apalagi untuk membeli suatu barang. Sesuatu jika sekadar dilihat dari tampilan fisik belumlah bisa dikatakan mewakili dari kualitas barang tersebut. Namun, kasus yang satu ini lain. Justru yang mesti diandalkan malah tampilan fisiknya (baca:unik dan menarik). Karena aktifitas ini berhubungan dengan pengemasan barang atau yang lebih dikenal dengan istilah packaging. Bisa dikatakan, aspek fisik lebih penting dan dominan. Malah bermula dari aspek fisik itulah letak dari nilai bisnisnya. Artinya, bagaimana sebuah pengemasan produk yang unik dan menarik tersebut menjadi potensi bisnis.
Di kota-kota besar, bisnis packaging mulai marak. Jasa ini berfokus pada pengemasan barang yang tidak bisa ditemui pada umumnya alias unik. Dengan keunikan tampilan luar, diharapkan orang yang melihatnya akan tertarik sekalipun isi di dalamnya sejenis dengan barang lainya.
Pada tahun 1930-an, Louis Cheskin, seorang psikolog pemasaran bereksperimen dengan menempatkan dua produk yang sama dalam dua kemasan yang berbeda. Satu kemasan berbentuk lingkaran dan kemasan lainya berbentuk segitga. Partisipan dalam eskperimen itu diminta untuk memilih produk mana yang paling disukai berikut alasanya. Mereka tidak ditanya soal kemasan. Juga tidak diminta untuk mengatakan sesuatu tentang kemasan itu. Hasilnya? 80 persen partisipan memilih produk yang dikemas berbentuk lingkaran.
Cheskin kemudian megulang eksperimenya dengan meletakan produk lainya dalam kemasan yang sama –berbentuk segitiga dan lingkaran. Hasilnya sama. Karena itu, Cheskin berkesimpulan, dalam kemasan memberikan pengaruh besar pada pengalaman seseorang terhadap isi yang terkandung dalam kemasan tersebut. Nah, terkait dengan eksperimen Cheskin tersebut, dewasa ini tengah berkembang bisnis yang berfokus pada pengemasan atau packaging.
Adalah Ika Yuniarti beserta temannya yang telah menekuni bisnis ini. Ide Ika menjalankan bisnis ini bermula saat dia akan menghadiri pernikahan sahabatnya. Saat itu dia berencana memberi kado kenangan dan tinggal mencari bungkus atau wadahnya. Dia pun jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Betapa herannya dia saat melihat daftar harga pembungkus kado berukuran kecil seharga Rp.40 ribu. Antara heran dan takjub pun menjadi satu. Heran lantaran untuk ukuran box yang sekecil itu harganya terbilang begitu mahal. Takjub karena sebenarnya dia pun bisa memproduksi barang tersebut.
Akhirnya, Ika pun memutuskan membuat sendiri box atau pembungkus kado. Tak berhenti disitu, dengan memanfaatkan imajinasi Ika menjadikan kegiatan mengemas barang ini menjadi sebuah bisnis. Bersama Nadia, Adit, dan Ono, bisnis box packaging pun digagasnya. Hasilnya? Bisnis tersebut bergulir dan awalnya melayani pesanan kecil-kecilan dari teman-temanya.
Langkah Dwi Cahyono, 30 tahun, berbeda. Awalnya dia sempat bingung lantaran order tempat kerjanya lagi surut. Dia memutuskan keluar. Di tempat kerjannya itu, Dwi menangani box packaging di bagian finishing. Karena kepepet, Dwi memaksakan diri terjun di bisnis yang sama.
Terus terang Dwi buta soal cara memproduksi. Tapi, tekadnya yang kuat memaksa dia untuk belajar. Dwi, Ika dan teman-teman memulai bisnis ini sejak setahun lalu. Ternyata, bisnis ini cukup diminati konsumen. Terbukti, setelah bisnis bergulir pangsa pasar pun berkembang. Dari yang awalnya perseorangan juga menembus perusahaan. Sebenarnya, fokus bisnis ini membuat tampilan barang mempunyai nilai tambah. Biasanya pasar box packaging untuk kebutuhan pribadi. Misalnya, untuk pengemasan kado, membuat wadah sepatu, tata rias, aksesoris, dan sebagainya. Dan bisnis packaging biasanya bukan untuk produksi massal.
Bagi perusahaan, jasa packaging dipakai untuk menambah nilai promosi. Produk yang akan di-launching juga sering memakai jasa packaging. Dwi, misalnya, menerima order dari perusahaan rokok berkait packaging promosi. Dia membuat kemasan promosi rokok yang ada korek apinya. Pesanan pun mencapai ribuan pieces. Berbicara soal bahan, box packaging menggunakan bahan utama kertas vensy yang memiliki ketebalan tertentu. Dengan harga per meter sekitar Rp 12 ribu – Rp 120 ribu. Semakin mahal, kualitasnya makin bagus. “Maka, saat bernegosiasi dengan klien, harus dipastikan dulu jenis kertasnya,”ujar Dwi. Mahalnya kertas ini karena jenis barang impor.
Kunci untama mengerjakan box adalah menemukan pola. Biasanya klien minta dibuatkan box berbentuk tertentu. Keinginan itu dikerjakan dengan sebuah pola utama. Jika sudah oke, pengerjaan berikutnya lebih mudah. Penemuan pola akan terasa lebih mudah jika sudah terbiasa.
Bahan finishing tergantung kesepakatan dengan klien. Bahan itu biasanya berubah sesuai mode pada eranya. Tahun 1999-2002, misalnya, bahan finishing berkonsep natural. Sebelumnya, finishing banyak memakai cover daur ulang. Bahan-bahan alam pun dipakai.
“Saya dulu memanfaatkan gedebong pisang dan daun waru untuk finishing. Konsep natural kemudian tergeser oleh konsep cover kain, sejak 2002-2006. Dan sejak 2006 sampai sekarang, masih didominasi finishing dengan bahan kain dan natural, papar Dwi yang menawarkan karya-karyanya di kaki lima saat mengawali usaha. Ia memprediksi pemakaian bahan daur ulang sebagai cover akan kembali ngetren, tapi dengan konsep beda.
Soal promosi? Ika dan Dwi mengandalkan getok ular. Keduanya juga aktif mengenalkan usaha lewat internet. Misal, melalui facebook dan blog. Intinya, agar konsumen setidaknya tahu eksistensi mereka. Modal menjalankan bisnis ini tidak banyak. Yang penting otak harus encer untuk memacu kreatifitas merancang box kemasan. Dengan kata lain kreatif dan inovatif. “Modal saya dan teman-teman waktu itu Rp 900 ribu, urunan bersama teman-teman, “ kenang Ika. Sementara modal Dwi malah hanya Rp 200 ribu. Kini, bisnisnya sudah menghasilkan laba pemasukan minimal Rp 6 juta perbulan. Itu belum termasuk pesanan insidentil di luar klien loyal.
Jadi, soal modal menurut Dwi, bukan penghalang untuk terjun di bisnis ini. Bahkan, modal itu sebenarnya bisa didapat dari klien sendiri. Mereka biasanya memberikan uang down payment (DP) yang bisa dipakai sebagai modal kerja. Termasuk dalam mendatangkan bahan. Soal kualitas jangan disepelekan. Lantaran bisinis ini rentan terhadap kompalin konsumen, maka dibituhkan ketelitian dan ketelatenan tinggi. Jika kurang rapi, bisa-bisa konsumen menolak membayar dengan harga penuh.
Seperti halnya yang dialami Ika. Dia harus menanggung resiko gara-gara ada box packaging-nya yang tidak rapi. Kesepakatan awal, klien memesan 500 box dengan harga Rp 4 ribu per item. Setelah ada complain, klien hanya mau membayar Rp 3.800 per box. Artinya, Rp 200 lebih murah dari kesepakatan.
“Tantangan bisnis box packaging memang ada pada tipe klien. Wajar bila klien tidak terima ketika hasil karya kita kurang memenuhi standar. Tapi, jika sudah bertemu klien bertipe perfeksionis, itu yang bikin kerjaan jadi tambah lama,” Keluh Dwi.
Klien jenis ini seringkali melakukan perubahan mendadak, padahal box yang dibuat sebelumnya sudah sesuai kriteria pesanan. “Namanya juga klien, saya pun harus sabar mengikuti kemauanya,” imbuhnya.
Pun demikian sebenarnya, tidak ada patokan khusus soal harga box per item. Soalnya, tiap pesanan membawa spesifikasi sendiri yang berujung pada harga bahan, jenis bahan, detail, sampai finishing. Maka, komposisi harga jual pun bisa dinegosiasi. Untuk Dwi sendiri mengaku harga jual box-nya dua kali dari harga pokok produksi. Sedangkan Ika, enggan menyebutkan rumus harga jualnya. Ia hanya menyebut, karnyanya dijual dari seribu sampai ratusan ribu rupiah. Wow, lumayan bukan untuk menambah penghasilan. Anda tertarik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar